Hukum Metaverse Dalam Islam, Beserta NFT & Token Crypto, Berdasarkan Fatwa Ulama

Hukum Metaverse Dalam Islam, Beserta NFT & Token Crypto, Berdasarkan Fatwa Ulama

Smallest Font
Largest Font
Bagaimana hukum metaverse dalam Islam?

Bagaimana hukum metaverse dalam Islam?

Sebelumnya disclaimer terlebih dahulu, saya bukan pemuka agama ataupun ahli dalam agama Islam. Cuman saya akan memberikan pandangan berdasarkan riset saya dari berbagai tulisan dan perspektif, terhadap metaverse — jika dikaitkan dengan Islam. Jadi semua yang dipaparkan di sini adalah hasil riset, bukan “fatwa” saya pribadi.

By the way, metaverse dalam Islam yang dibahas di sini akan dibagi dalam 4 faktor yang terlibat di dalamnya, seperti sifat “adiksi yang bisa melalaikan”, “hukum Islam dari NFT yang dijual di metaverse”, “hukum Islam dari token crypto yang jadi alat pembayaran NFT”, hingga “pendapat atau wacana seorang tokoh nasional — tentang kemungkinan menjalankan dakwah di Metaverse”.. hmm… ada-ada saja, ya :D..

Yok, kita mulai pembahasan ini dari:

1. Adiksi yang bisa melalaikan

Dunia imersif nan mengasyikkan seperti metaverse memang berpotensi menimbulkan adiksi — dan bisa saja melalaikan seseorang dalam urusan beribadah. Seperti yang kita tahu, saat ini ada banyak “pengalih” yang cenderung bisa melalaikan manusia dalam beribadah — yang artinya malah melakukan hal yang sia-sia. Sebut saja, seperti televisi, komputer, game, media sosial, dan lain sebagainya.

Jika ditambah dengan adanya metaverse, maka bertambah lagi “media” yang berpotensi melalaikan seseorang untuk beribadah. Tidak hanya hiburan biasa, namun dengan adanya algoritma dan kecerdasan buatan — yang dirancang secara strategis — untuk menyajikan konten yang menarik bagi kita. AI ini sangat mengetahui preferensi, minat, dan keinginan pribadi kita — baik itu video olahraga, komedi, game, dan hiburan lainnya. Bahkan algoritma saat ini telah mencapai titik di mana mereka mengenal sobat lebih baik daripada sobat mengenal diri sobat sendiri.

Keberadaan metaverse bisa saja menambah kecanduan dan adiksi — untuk urusan dunia — dan mengenyampingkan ibadah. Bisa dibilang, mereka telah “membajak” indra kita.

Ini adalah “lingkaran setan” yang berulang — yang membuat kecanduan bagi kita — dan menghasilkan banyak uang bagi penciptanya. Mereka tidak akan berhenti, dan mereka semakin membuatnya menarik melalui mekanisme 3D yang imersif bernama metaverse.

Dengan kehidupan menggunakan kacamata Virtual Reality, metaverse bisa saja menjadikan kita semakin tenggelam ke dalam dunia virtual — dan mengabaikan hal-hal penting di dunia nyata — seperti ibadah misalnya.

Inilah salah satu konsekuensi terbesar dari kemajuan teknologi yang tentunya bersifat negatif.

Lantas, bagaimana hukumnya metaverse dalam Islam?

Tidak hanya metaverse, hal-hal duniawi lainnya yang membuat adiksi dan melalaikan kita dalam beribadah, tentu DILARANG dalam agama Islam.

Jika kita tetap ingin ambil bagian dalam metaverse, maka lakukan sekedarnya dan seperlunya saja. Jangan sampai keberadaan metaverse mengganggu ibadah, dan menjauhkan kita dari Allah SWT.

Kehidupan nyata tetap-lah yang utama, dan kehidupan di metaverse hanya selingan saja. Itulah yang benar. Perlakukan metaverse hanya sekedar pengisi waktu luang, bukan pengisi waktu utama di kehidupan kita. Manfaatkan metaverse untuk hal-hal positif, seperti untuk pekerjaan, penambah pengetahuan atau wawasan, atau keperluan terapi untuk kesehatan — seperti yoga. Jangan jadikan metaverse untuk melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat, apalagi untuk berbuat kejahatan atau kriminal.

Daya tarik metaverse memang sangat besar, jadi sebisa mungkin harus mengatur waktu dengan bijak. Utamakan beribadah, dan main metaverse — seperti halnya urusan duniawi lainnya — perlu dikontrol dengan bijak.

2.Hukum Islam untuk NFT yang dijual di metaverse

Di dalam dunia metaverse, aset-aset virtual seperti tanah, rumah, baju, mobil, dan aset-aset lainnya diperlakukan sebagai NFT. NFT atau Non-Fungible Token adalah token digital yang tidak bisa dipertukarkan dalam trading crypto, namun bisa dijual kepemilikannya kepada pengguna lain. Secara singkat, NFT adalah sertifikasi hak milik dalam jaringan blockchain — dari aset-aset yang dijual di metaverse.

Nah, bagaimana hukum Islam-nya dari NFT ini?

Berdasarkan riset yang saya lakukan di internet, ada 1 ulasan menarik yang saya kutip dari website islam.nu.or.id. Namun di sana yang dibahas adalah Crypto Art, bukan NFT yang dijual di metaverse. Tapi menurut saya hampir-hampir mirip, karena baik Crypto Art maupun NFT di metaverse — sama-sama memiliki value atau kegunaan.

Kesimpulan yang diambil dari website NU Online tersebut adalah:

Kolektor Seni yang Dibentengi Kriptografi. Setidaknya, karya seni itu mewujud dalam dua hal, yaitu seni yang ada dalam bentuk fisik, dan seni digital. Seni yang ada dalam bentuk fisik diproduksi oleh para seniman canvas, pencipta lagu, atau video. Adapun seni yang ada dalam bentuk digital, diciptakan oleh para kreator seni digital.  

Ketika sebuah hasil karya sudah dipatenkan menjadi sebuah sandi crypto, maka pihak yang mendapat karya seni tersebut pada dasarnya berperan layaknya sebuah kolektor benda seni. Seni yang sudah ada di tangan para kolektor ini, selanjutnya kedudukannya berubah menjadi Non-Fungible Token (NFT).

Arti penting dari Crypto Art yang sudah ada di tangan para kolektor ini adalah bahwa harganya tidak bergantung pada permintaan pasar. Harga NFT sepenuhnya ada di tangan para penikmatnya. Oleh karena itu, pihak yang memiliki hobi berburu koleksi seniman digital ini tak akan segan-segan untuk merogoh koceknya sedalam-dalamnya.

Itu sebabnya, Crypto Art sering dikenal juga sebagai Token Collectible atau Cryptocurrency Collectible. Ia hadir karena basis menuruti hobi kolektor benda seni. Berhubung, dewasa ini ada seniman digital, maka karya seniman digital ini bisa menjadi satu karya yang bisa dikoleksi.

Tentunya, untuk memulainya, ada daya tawar menawar mengenai hasil karya tersebut sebelum dibentengi dengan sandi crypto. Setelah menjadi crypto art, maka harganya bergantung pada kemampuan dari para pemburunya. Ibarat lukisan Monalisa dengan tanda tangan pelukisnya. Mahal, mahal, mahal.

Kalau untuk crypto art, sepertinya pendapat tadi membolehkan untuk ditransaksikan. Namun untuk NFT yang dijual di metaverse, saya masih belum menemukan sumber valid mengenai hukum Islamnya — antara haram, halal, mubah, atau makruh.

Sebagai tambahan informasi, kabarnya OpenSea akan segera merilis galeri seni NFT bernuansa Islam. Kemudian ada juga marketplace NFT syariah pertama yang akan diluncurkan oleh website yang berbasis di Inggris.. Hmmm, semakin menarik saja.

3. Token crypto sebagai alat pembayaran NFT

Token crypto di metaverse akan dipakai untuk membeli NFT atau aset di metaverse tersebut. Misalnya di metaverse Decentraland menggunakan token MANA, dan di metaverse The Sandbox menggunakan token bernama SAND. Lantas, bagaimana hukum Islam untuk penggunakaan token crypto dalam transaksi NFT ini?

Berdasarkan hasil riset saya, ada beberapa pendapat berbeda mengenai penggunaan token crypto dalam Islam. Menurut MUI, uang kripto / crypto currency seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, Solana, Polkadot, Shiba Inu, dan lain-lain — mengandung gharar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 tahun 2015. Sebelum MUI, NU Jawa Timur juga telah menetapkan uang kripto / crypto currency seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, Solana, Polkadot, Shiba Inu, dan lain-lain — haram.

Sementara itu, ormas Islam Muhammadiyah belum menetapkan fatwa hargm atas uang kripto / crypto currency seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, Solana, Polkadot, Shiba Inu, dan lainnya. Dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fahmi Salim menyatakan bahwa di dunia Islam belum ada fatwa khusus yang dapat dijadikan pedoman untuk bersama-sama menyepakati hukum uang kripto. Tingkat kebaruan yang cukup rumit, menurutnya membuat para ulama sebagian besar tidak tergesa-gesa memberi hukum, termasuk Muhammadiyah. (Sumber)

Pendapat ketiga yakni dari Bahtsul Masail.. Dilansir dari laman NU Online, pendiri Islamic Law Firm (ILF) dan Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid — menginisiasi kegiatan Bahtsul Masail — untuk membahas halal dan haram-nya transaksi kripto. Hal itu sejurus dengan pertanyaan banyak pihak terkait transaksi yang saat ini mulai digandrungi itu.

Dalam bahtsul masail yang dilaksanakan secara virtual pada Sabtu (19 Juni) tersebut, ILF menghadirkan sejumlah ulama, yaitu Pengasuh Pesantren Sukorejo KH Afifuddin Muhajir, Pengasuh Pesantren Al-Anwar Sarang KH Abdul Ghofur Maimun, Wakil Ketua LBM PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali, serta KH Asyhar Kholil dan Habib Ali Bahar.

Selain itu, narasumber umum yang ahli di bidangnya juga turut dihadirkan, yaitu Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Indrasari Wisnu Wardhana, perwakilan Bursa Efek Indonesia Pandu Patra Sjahrir, Founder dan CEO PT Pintu Kemana Saja Jeth Soetoyo, dan Co-Founder dan CEO Indodax yaitu Oscar Darmawan.

Berikut ini  hasil dari Bahtsul Masail Halal Haram Transaksi Kripto:

1. Aset kripto adalah kekayaan (mal) menurut fikih. Jadi aset kripto yang sedang kita bicarakan itu harta dalam tinjauan fikih. Pengertiannya adalah kalau harta ini dicuri, maka harus disanksi pencurian, kalau dirusak, maka harus diganti.

2. Karena dia kekayaan, maka sah dipertukarkan sepanjang tidak terjadi gharar (ketidakpastian). Kenapa diputuskan demikian? Karena, terjadi perbedaan pandang antara musyawirin (ulama perumus) apakah transaksi cryptocurrency itu terjadi gharar atau tidak. Sebagian mengatakan cryptocurrency terjadi gharar, sebagian yang lain mengatakan cryptocurrency tidak terjadi gharar.

Sifat dari gharar ini debatable, ini karena orang melihat dari sudut pandang masing-masing. Meski demikian, para ulama bahtsul masail sepakat bahwa transaksi kripto harus tidak ada gharar, hanya saja terkait hal ini para ulama berbeda pendapat. Sehingga, jika yang mengatakan di dalam cryptocurrency ada gharar, maka itu tidak diperkenankan. Bagi yang mengatakan itu tidak ada gharar, sebagaimana juga didukung ulama bahtsul masail, maka cryptocurrency boleh dipertukarkan.

3. Menghimbau kepada masyarakat agar tidak mudah melakukan transaksi ini, jika tidak memiliki pengetahuan tentang cryptocurrency.

4. Mendorong pemerintah agar membuat regulasi yang ketat untuk menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan transaksi kripto. (Sumber)

Silahkan sobat onlen simpulkan sendiri dan tentukan fatwa mana yang akan sobat pilih.

Kalau opini saya pribadi, pembelian NFT di metaverse menggunakan token crypto — itu ibarat membeli skin di dalam game, menggunakan diamond atau coin di dalam game tersebut. Jadi, opini saya NFT sama dengan skin, dan token crypto ibarat diamond yang digunakan untuk membeli skin tersebut.

Ini hanya opini saya pribadi, sobat onlen tidak perlu mengikutinya. Fokus saja pada fatwa-fatwa yang telah disebutkan sebelumnya — karena fatwa tersebut dibuat oleh mereka yang memiliki keilmuan dan kapabilitas mengenai hukum Islam — alias pantas untuk dijadikan rujukan.


4. Dakwah via metaverse?

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi — dalam penyampaiannya di acara Mukatamar NU ke-34 di Lampung, mengusulkan ide agar suatu saat dakwah virtual dilakukan via metaverse.

“NU di dalam temanya berkhidmat untuk peradaban dunia, hati-hati memang, peradaban itu harus kita pengaruhi, agar maslahat bagi umat manusia di seluruh dunia, khususnya di negara kita Indonesia. Nanti semuanya dakwah virtual, pengajian virtual, tapi betul-betul kaya kita bertemu seperti ini, bukan seperti sekarang yang masih vicon (video conference, red),” kata Jokowi di Pondok Pesantren Daarussa’adah Lampung Tengah, Lampung, Rabu (22/12/2021).

Menanggapi usulan di atas, saya pribadi menganggap — kalau sekedar dakwah — via metaverse — kayaknya boleh-boleh saja. Anggap aja seperti dakwah di Youtube, dakwah di Instagram, di Facebook, dan yang lainnya. Asalkan jangan sampai melakukan kegiatan ibadah di metaverse, misalnya shalat Jumat di metaverse — atau shalat tarawih di metaverse, itu sudah pasti NGAWUR..

So, menurut opini pribadi saya — dakwah di metaverse boleh-boleh saja — berkaca dari dakwah di platform lainnya yaitu Youtube, Instagram, dan Facebook. Sedangkan kegiatan ibadah — JELAS TIDAK SAH kalau dilakukan di metaverse.

Nah itulah dia hasil riset saya mengenai hukum metaverse dalam Islam, dilihat dari berbagai persfektif dan fatwa-fatwa ulama yang tadi dijelaskan. Mohon maaf jika ada salah kata, dan apabila ada opini saya yang kurang tepat, silahkan berikan komentar sobat — untuk mengoreksi setiap perkataan saya yang dirasa menyalahi hukum agama Islam.

Terima kasih sudah menyimak tulisan ini, dan sampai jumpa.. (af)


Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
admin Author

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait